Wednesday, April 19, 2017

Pilkada DKI Jakarta

0 comments
Saya termasuk yang paling gregetan dengan Pilkada DKI Jakarta. Ingin rasanya melipat waktu agar hajatan politik elektoral ini segera berakhir. Saya tidak peduli siapapun pemenangnya. Bukan apa-apa. Pilkada ini telah menimbulkan polusi di langit perpolitikan, menimbulkan polarisasi serta menyisakan luka di Tanah Air. Bayangkan, berbulan-bulan praktik demokrasi lokal ini menguras energi (politik, ekonomi maupun agama) dan mengaduk-aduk emosi kita. 



     Meski berada di wilayah urban, bahkan menyandang status sebagai ibukota negara, namun Pilkada DKI Jakarta itu merupakan Pilkada paling purba dalam praktik demokrasi lokal di Indonesia. Jakarta merupakan contoh demokrasi yang buruk dalam politik elektoral. Dalam bahasa Arab kota itu disebut “madinah” yang berarti “keberadaban”. Artinya, kota dan masyarakat kota adalah lambang kemajuan peradaban umat manusia, tidak hanya dalam hal teknologi, pencapaian ekonominya, tingkat pendidikan warganya, keteraturan masyarakatnya (social order) tapi juga level “keberadaban” masyarakatnya.

    Untuk yang terakhir inilah sehingga lahir ungkapan konotatif dan peyoratif seperti ‘kampungan’ yang melambangkan sikap dan perilaku yang tidak mencerminkan “nilai-nilai kekotaan”. Tapi berbagai intrik murahan baik dari para petualang politik maupun para pemuja kekerasan berbasis agama yang dijejalkan selama kegaduhan Pilkada Jakarta menunjukkan secara telanjang, siapa sebenarnya yang “kampungan” atau bukan: apakah yang norak dan kampungan itu warga desa yang buta huruf dan ndeso atau mereka yang tinggal di gedung-gedung pencakar langit dengan segala gegap gempita teknologi yang menemaninya. Pilkada Jakarta menunjukkan level perilaku manusia purba di era digital: yang minoritas berteriak karena merasa dizalimi, sedangkan yang mayoritas berteriak karena merasa dicurangi. Yang minoritas merasa hidupnya terancam, yang mayoritas merasa jadi korban konspirasi jahat si minoritas. 


Sumber
Republikpos.com


Pilkada Jakarta juga menunjukkan perilaku purba yang memalukan dari mereka yang well-educated dan paham agama karena ruang-ruang publik (dunia nyata maupun maya) dipenuhi berbagai ungkapan kebencian berbasis SARA, menebar permusuhan, dan perilaku kekerasan (baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik). Setiap kelompok merasa menjadi ‘korban’ sambil pada saat yang sama merasa paling benar sendiri dan menghukumi yang lain sebagai terdakwa. Pilkada Jakarta juga menunjukkan perilaku purba karena agamapun--yang seharusnya menjalankan fungsi kritis terhadap kekuasaan--malah ikut dibajak oleh para penyembah berhala kekuasaan. 

Sumber
Jateng - Tribunnews.com


Di Pilkada Jakarta semuanya jadi serba politis: keimanan kepada Pilkada menjadi ukuran untuk menilai keimanan seseorang, ada salat Jumat politik, salat jenazah politik, salah subuh berjamaah politis, tamasya Al-Maidah dan seterusnya. Singkatnya, Pilkada Jakarta tidak hanya menunjukkan perilaku purba dalam berdemokrasi tapi juga menampakkan agama dalam wajah paling buruk. Semoga keburukan dan kepurbaan ini tidak menular ke Pilkada daerah lainnya. .


Semoga bermanfaat untuk semua " Teamwork212 "

Leave a Reply

Labels